Yogyakarta. Pagi yang dingin aku sampai di stasiun kota Gudeg. Aku sendiri bingung hendak mencari ke mana, aku menepi ke sebuah musholla untuk mendirikan sholat dan berdo’a semoga aku dengan cepat menemkan Fa. Udara yang sangat dingin rasanya malas untuk keluar dari musholla, tetapi aku harus mencari Fa. Aku pun segera keluar dan menatap satu persatu penghuni satasiun kota Gudeg itu, tetapi tak satu pun orang yang aku kenal. Di seberang peron aku lihat para tukang ojek mengantri dan menanyai satu demi satu orang yang keluar dari stasiun.
Aku pun segera menuju ke sana. ”Mau ke mana mas? Ke Malioboro, atau Keraton?” seorang tukang ojek mananyaiku, aku pun cuek dan bingung dengan pandangan kosong. Sebab aku tak tahu harus mencari Fa kemana.
”Mas kalo ke Maliobro berapa ya mas?” akhirnya aku bertanya kepada salah seoarang pengojek. “Murah mas, cuma lima puluh ribu rupiah”
“Bisa kurang ndak mas?”
“Yo wis empat puluh yo mas, piye?”
“Yo wis..” tanpa pikir panjang aku pun mau.
Akhirnya pagi itu aku mengelilingi kota Jogja, suasana yang khas dengan lalu lalang berbagai macam kendaraan yang sama padatnya di kota Depok, kecuali andong dan becak yang sangat khas di kota gudeg ini. Tetapi di Jogja aku pikir lebih disiplin dan ramah para penduduknya. Berbeda dengan di kampung kelahiranku Brebes, huff... payah! Tetapi bagaimana pun Brebes adalah kota kecil terbaik yang aku cintai.
”Mas bentar lagi sampi ke Malioboro ya mas” Mas Ojek mengingatkan aku
“O ya...ya....” aku sedikit tersentak, mungkin karena aku begitu kagum pada peradaban kota yang satu ini, hingga aku lupa.
Tiba-tiba Mas Ojek berhenti ”Sudah sampai mas”
Aku pun segera turun,mengambil uang di saku celana dan segera pamit ”Matur nuwun ya mas” aku bereloroh saja.
“Mas...mas...!!!” “Ya... kenapa?” tanyaku.
“Itu helmnya” Segera ku raba kepala ternyata benar aku sampai lupa melepas helm.
”Wah...wah... aku sampai lupa mas, saking enaknya Jogja ini. Maaf ya mas”
”Ya... ya... ndak pa pa”
Petualangan segera aku mulai, meski jujur ini adalah pertama kalinya aku singgah di kota Jogja. Telah hampir 10 tahun aku tidak pernah ke Jogja. Banyak yang berubah, namun tetap asik Jogja adalah Jogja. Aku telusuri sepanjang jalan Malioboro dan ku amati satu demi satu orang-orang yang melintas di jalan itu, takter kecuali para wisatawan asing alias bule.
Persis di depan Pasar Beringharjo aku melihat sesosok wanita mirip Fa, segera ku kejar dan kupanggil-pangggil tetapi sosok itu tetap berjalan melaju sekenanya.
Akupun terus mengejar, hingga persis di dekatnya ku pegang bahunya dan kusapa ”Airin Fauziah...” Wanita itu hanya tersenyum manis ”Maaf saya bukan Airin” sergahnya.
Aku pun langsung tersipu malu dan tertipu, kukatakan ”Maaf... Mbak, saya kira Mbak, Airin Fauziah” Satu yang tak pernah ku lupa, Fa mempunyai ciri khusus di pipi kanannya ada sedikit tonjolan bekas luka waktu ia terjatuh dari motor bahkan ia pernah masuk rumah sakit.
Tak jauh dari Malioboro adalah keraton. Aku jadi ingat bahwa kampung kelahiranku pun memiliki kedaton atau semacam keraton letaknya persis di samping depan alun-alun kota Brebes, aku hanya menerka mudah-mudahan aku menemuai Fa di Keraton seperti pertama kali aku dan dia bertemu di alun-alun kota. Tak ku buang waktu percuma aku segera menuju Keraton. Sepanjang jalan aku tetap waspada dan terus menelusuri jejak Fa di kota Gudeg ini. Ku yakin benar setelah sampai didepan keraton aku akan menemui Fa di sana. Firasatku mengatakan sangat kuat di depan keraton di alun-alun aku akan menemui Fa.
Waktu terus melaju dan aku pun terus berpacu, meski lelah menghampiri tubuh ini aku tetap bertekad harus menemui Fa.
”Mas Firman ya...?!!” suara wanita dari balik pohon beringin, tetapi aku tak mengenalinya dan tak ku hiarukan. Aku begitu lelah dan ku sandarkan tubuh ini di antara pohon di depan Keraton. ”Mas...Mas...Mas Firman..!!!” suara itu kembali bersuar.
”Mas...Mas ini aku... aku... Airin Fauziah” Tubuhku yang lelah sontak terbangun aku mencari sumber suara itu, dan ternyata benar Fa telah ku temuai, aku haru aku terkejut dan segala rasa dijiwa ini meluap. Kini ia kelihatan langsing, tetapi rona pipi dan alis sabitnya masih saja menggodaku.
”Kamu ini kemana saja Fa?” spontan kata-kata itu muncul dari bibir yang sudah terasa kelu untuk berucap.
”Ya Mas... aku sekarang lagi melanjutkan kuliah di sini di Jogja”
”Ha... Kuliah!” aku terkejut.
”Iya... aku kuliah di Universitas swasta dekat UGM” Tak kusangka kepergiannya meninggalkan aku dan Sang Ibu di Brebes untuk kuliah.
Aku semakin kagum padanya.
”Ambil jurusan apa?”
”Aku ambil matakuliah sastra Inggris.., do’ain ya Mas 2009 aku selesai”
”Ya..ya...aku pasti do’akan”
”Dalam rangka apa Mas ke Jogja” Aku diam sembarimengajak jalan Fa mencari tempat yang nyaman untuk berbincang.
”Yang jelas aku ke Jogja mencari kamu... aku kemarin pulang ke Brebes dan menemui Ibumu, aku pikir Ibumu tahu kamu sekarang di mana. Ternyata Beliau pun tidak tahu keberadaanmu”
”Hemm” Fa hanya menawarkan senyumkepadaku.
”Aku benar-benar khawatir denganmu Fa”
”Mas sebenarnya Ibu sudah tahu, hanya saja aku yang bilang jika Mas Firman mencariku jangan dikasih tahu” Aku tidak yakin dengan apa yang diucapkan oleh Fa.
”Aku sengaja menghindar...” diam dan tiba-tiba Fa diam seribu bahasa kecuali senyum yang menyimpul.
Aku bersyukur aku dapat menemui Fa di kota Gudeg ini. ”Fa... aku jadi ingat pertama kali kita ketemu” Fa hanya tersenyum” Aku tahu Mas, di alun-alun kan?” Aku pun tersenyum kepadanya.
by Mahapatih Anton