JELAGA-JELAGA JIWA 4

Aku kembali teringat di masa kecilku aku sendiri tak tahu mengapa orang tuaku memberi nama Sandhy, Sandhy berarti rahasia, sehingga tak salah aku sendiri sering menjadikan hidup ini sebagai rahasia Tuhan dan akulah salah satu makhluk yang selalu mencari arti dan hakikat rahasia dari hidup ini.
“Cah bagus…kamu belum tidur ?” “Belum ngantuk kek…!”. Aku sedikit terkejut ternyata kakek tua itu belum tidur padahal dia sendiri telah meminta izin untuk tidur lebih awal tapi tak mengapalah.
“Cah bagus…!” Kakek tua mencoba memanggil namaku dengan cah bagus, sembari mengangkat tubuhnya yang telah renta untuk duduk bersandar, aku coba membantunya.
“Terima kasih Cah bagus…,” “Sama-sama Kek…”
Aku dan Kakek akhirnya duduk berdampingan memandangi pojok kota dan mendengarkan suara bisingnya motor di malam hari. Sunyi memang, tapi kadang ada beberapa anak muda yang gemar melakukan track motor di jalanan malam yang sepi. Mungkin seperti itulah cara-cara orang berduit menghabiskan uang, berbeda dengan aku dan kakek yang hanya bisa memandangi mereka dan hanya melongo.
“Cah bagus… hidup di dunia ini itu cuma sebentar, kakek tidak merasa…, tahu-tahu kakek sudah di batas usia yang uzur, rasanya baru kemarin kakek hidup ha…ha…ha…” Kakek melepas tawanya, hening pun terpecah seketika.
“Lihat…itu, mereka saat ini hanya bersenang-senang tapi sesaat lagi mereka akan hilang dalam sekejap,” kakek menunjuk pada sebagian anak muda seusiaku yang tengah bermain track motor.
“Criiii…..t brak…!!!” tiba-tiba salah satu di antara mereka jatuh menabrak trotoar, sebenarnya aku ingin menolong akan tetapi kakek melarangku
“Biarkan saja, itu adalah sebuah pelajaran hidup” Sepertinya kakek marah, wajar saja karena selama ia tinggal di pojok kota itu, telinganya selalu diusik oleh suara motor yang melengking. Di antara para pemuda itu ada yang berlarian untuk menolong rupanya luka yang diderita teramat parah, sebagian yang lain menyediakan mobil untuk membawanya ke rumah sakit, dari jauh aku hanya bisa berdo’a semoga tidak terjadi apa-apa.

“Cah bagus.., kakek dulu juga pernah muda, masa kecil dan masa muda kakek dihabiskan di kampung, waktu itu kakek hidup sebagai petani, kerjaan tiap hari kakek adalah mencangkul”
“Lantas kenapa kakek ada di sini”
“Itu rahasia Tuhan, kakek tidak pernah menduga kakek akan hidup sampai tua di sini.”
Mungkin benar juga apa kata kakek bahwa manusia hanyalah dapat merencanakan selebihnya Tuhan yang akan menentukan setiap perjalanan hidup manusia.
“Kakek saat itu hanya punya keinginan untuk berubah dari keadaan yang ada, tapi kenyataan menjadi lain kakek lebih banyak pasrah dalam menjalani hidup, padahal sikap pasrah tanpa dibarengi usaha tidaklah ada artinya”
“Bukankah kakek juga sudah berusaha” Aku mencoba menyeletuk
“Belum..belum maksimal, lha wong… Tuhan itu maha adil ko, mungkin inilah bentuk keadilan Tuhan yang Tuhan berikan kepada hamba-hambanya agar bisa hidup lebih ngabdi” Sambil menghisap lintingan rokok yang ia buat sendiri dari daun jagung yang dikeringkan, begitu nikmatnya kakek menghisap rokok yang ia buat sendiri sampa-sampai aku lupa asapnya telah mengepul di hadapan  wajahku dan sedikit menghalangi pandangan mataku melihat pojok kota itu.

Keheningan malam kembali terpecah saat dari balik pojok kota itu sebuah mobil sedan mewah berhenti mendadak, aku terus mengintainya sambil mendengarkan suara isapan rokok kakek yang persis di samping telingaku. “Brak…!!!” Suara pintu mobil yang ditutup dengan keras oleh si pemilik mobil itu, keluar lalu berjalan dengan cepat memasuki ruang yang ada pojok kota itu, sejenak aku membayangkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Seorang wanita dengan baju yang menggoda di papah keluar oleh pemilik mobil sedan itu, kemudian memasukkannya ke dalam mobil. Tak lama seorang pemuda keluar membawa botol minuman melempar kaca mobil “Prak…!!!,” kaca mobil itu terpecah. Bak aksi perampokan, pemilik mobil itu keluar dan menghajar habis pemuda yang melempar botol ke mobilnya, baku hantam pun terjadi seperti adegan film Hollywood. Tak ada yang mengalah dan tak ada yang mau dikalahkan ya setidaknya mirip dengan anggota dewan kita yang baku hantam di tengah sidang yang sedang berlangsung. Berbondong-bondong orang dari dalam keluar untuk menghentikan pertikaian antara entah siapa melawan siapa. Kakek dan aku hanya bisa diam dan menonton, aku sendiri tak punya kuasa atas apa yang sedang terjadi di depan Café Pojok itu, aku tahu nama café itu setelah kakek menceritakannya padaku. Si pemilik mobil itu pun segera masuk ke dalam mobilnya tancap gas dan segera pergi, perang bubrah itu berhenti dengan seketika dan sunyi kembali menguasai alam kota Jakarta di malam hari

“Mahapatih Anton” Rengas Pendawa,13 – 16 Januari 2006  

FULL CERITA 

Post a Comment

0 Comments