Tanah Cita-cita – Catatan harian seorang Sutradara

Ini semua berawal dari film yang saya garap dengan Pustekkom. Film tersebut saya beri judul "Tanah Cita-cita" berlatar cerita tentang seorang Kepala Sekolah yang menyelesaikan problem pendidikan di daerah Bima. Pendidikan dengan berbasis kearifan lokal yang tidak mengandalkan ruang kelas sebagai tempat kegiatan belajar mengajar berlangsung, namun dia memilih tempat KBM di luar kelas yakni belajar di alam liar seperti di hutan, di kaki bukit dan sawah. Kepala Sekolah menerapkan metode tersebut sebab merasa minat belajar anak-anak daerah Bima itu rendah. Karena diliputi sejumlah persoalan ekonomi, sosial, dan budaya. Berhasilkah Kepala Sekolah tersebut, tonton saja filmnya ya. Setting yang saya gunakan dalam film tersebut adalah daerah Bima NTB.


Perjalanan 13 Oktober 2016 

Berawal dari itu semua akhirnya saya dan tim berangkat untuk hunting lokasi di Bima. Perlu diketahui Bima itu Kota yang letaknya berada di kepulauan Sumbawa NTB. Kota tersebut sangat panas bahkan cenderung gersang, meski ada beberapa yang hijau di sana. Sepanjang saya datang suhu di sana cukup terik panas, setiap kali saya cek temperatur suhu melalui smartphone selalu di atas 34 derajat bahkan pernah mencapai 41 derajat. Panas yang luar biasa, dan ini yang menjadi kendala utama kami pada saat syuting tiba. Padahal ini kami masih berada di tengah-tengah kota Bima belum menjelajah jauh di ujung tepian pulau yang beririsan langsung dengan laut.


Untunglah kami mendapat guide yang baik, namun garang. Bang Takwa namanya, ia yang mengatar kami kesana kemari menggunakan mobil yang kami sewa. Setelah seharian kami disibukan mencari penginapan di Kota Bima. Agak cukup kesulitan mencari penginapan yang pas dan cocok di sana, kecuali ada hotel-hotel kelas losmen mirip di Jogja. Kami mencari menelusuri kota Bima yang cukup panas dan tak terlalu besar. Akhirnya kami menginap persis di tengah kota dekat alun-alun orang Bima bilang itu lapangan. Site plan alun-alun juga mirip dengan kota-kota di Jawa. Terdapat alun-alun, istana raja, masjid dan pasar. Saya pun curiga kenapa kota Bima site plannya mirip seperti kota-kota di Jawa. Pertanyaan itu belum terjawab, tapi nanti akan terjawab di hari yang kesekian setelah saya diberi kesempatan untuk berziarah.


Perjalanan 14 Oktober 2016 

Wera, inilah lokasi yang kami tuju. Sebuah desa di ujung barat pulau dari Bima yang hanya ditempuh sekitar 2 jam dari kota Bima. Sepanjang jalan kami tak bisa menikmati apa pun karena memang di Bima sedang kemarau dan cukup gersang tak ada hijau-hijauan semua tumbuhan menguning. Temperatur suhu hari itu mencapai 39 derajat, luar biasa panas. Wajar jika orang asli dari Bima hitam keling dengan perawakan yang kokoh layaknya pekerja keras. Sepanjang jalan kami hanya menikmati bukit yang gersang dan desa-desa yang tidak terlalu padat, beberapa terlihat ada yang beraktifitas sebagai petani bawang dan beberapa sibuk meladang. Satu hal yang membuat kami heran adalah cara mereka bicara dan bahasa yang mereka gunakan. Ini unik karena bahasa yang mereka gunakan itu tak ada kemiripan sama sekali dengan bahasa Jawa, mereka memiliki kosakata sendiri. Satu-satunya kosa kata yang mirip adalah jara (kuda) kalau di jawa disebut dengan jaran (kuda). Kosa kata mereka memiliki khas sendiri dan cukup sulit untuk dipelajari bagi saya, entah bagi orang lain. Gaya bicara mereka seperti orang marah-marah, padahal memang itu gaya bicara mereka. Yang belum pernah interaksi dengan mereka orang Bima akan mengira bahwa mereka pemarah, padahal tidak mereka seperti kebanyakan orang Nusantara lainnya, ramah dan sopan.


Sampailah kami di Wera, kami cek lokasi untuk syuting film yang akan kami garap. Lokasi utamanya memang sebuah sekolah yang masih reot dengan bangunan papan kayu, kami singgahi tempat itu. Sekolah dengan bangunan menggunakan kayu berdiri menghadap laut. Uniknya penduduk Wera tidak ada yang menjadi nelayan meskipun hidup di tepi pantai, mereka lebih memilih menjadi peladang dan petani bawang merah. Kami berbincang dengan pemilik sekolah, dan kami diijinkan. Kami menemukan kendala di lokasi tersebut. Pertama jarak tempuh dari Kota Bima sekitar 2 jam, suhu udara yang panas, lokasi sekolah juga mesti harus ada yang dirombak. Akhirnya kami keep lokasi sementara waktu, tapi belum kami lock.


Perjalanan kami lanjutkan menyisir pinggiran pulau Bima Sumbawa. Sepanjang jalan kami hanya melihat pantai dan gugusan bukit-bukit yang gersang, jalan yang kami tempuh pun naik turun. Nah.. ini yang saya suka dari Pak Jokowi Presiden RI ke 7 ini, pembangunan benar-benar merata. Sepanjang kami menyisir jalan menuju Sape banyak jalan yang rusak, namun pemerintah yang baru terbilang sebentar ini cukup efektif melakukan pembangunan infrastruktur. Di setiap desa antara Wera - Sape kami singgahi, kami berhenti untuk mengambil spot gambar yang luar biasa indah. Saya bahkan tak henti-hentinya mengagumi pulau Sumbawa meski gersang, namun pantainya indah luar biasa. Yang cukup membuat saya prihatin adalah, soal sanitasi kebersihan. Masyarakat Bima mempunyai kebiasaan membuang sampah ke laut. Maka yang seharusnya pantai itu indah mempesona, cukup disayangkan banyak sampah terutama sampah plastik bekas bungkus dan botol air mineral yang mengotori pantai.


Kami berhenti di desa Pai, desa cukup dusun/udik. Banyak di antara mereka yang hidup cukup susah, saya melihat terdapat satu madrasah/sekolah yang bangunannya telah berubah menjadi kandang sapi dan ternak yang lain. Setelahnya kami terus melaju hingga kami berhenti di bukit yang berdampingan dengan pulau ular. Konon pulau ular dihuni oleh ular-ular laut yang bersarang di pulau di tengah teluk, dan ular-ular itu tidak ganas bahkan menurut penduduk sekitar ular-ular tersebut bisa dipegang untuk dielus. Ular-ular itu juga sepertinya hanya betah di pulau tersebut. Ada beberapa masyarakat yang mencoba memelihara ular tersebut namun lepas dan kembali ke pulau ular. Saya dan tim tak dapat menuju pulau ular karena waktu yang terbatas. Saya pun hanya menyimak cerita yang dia (Bang Takwa) sampaikan ke saya.

Selepas desa Pai. Adalah desa Lamere, desa nelayan yang menurut saya desa ini cukup kaya. Semua terlihat dari tata ruang desa dan bangunan rumah mereka, sangat kontras dengan di Pai. Kehidupan di Lamera sepertinya mengandalkan dari laut, terlihat dari kapal-kapal nelayan yang bersandar di pelabuhan kecil desa Lamere. Saya membayangkan seperti di Hawai, jajaran kapal-kapal dan hamparan laut yang membiru. Kami tak sempat berhenti hanya memelankan mobil yang kami laju sambil melihat beberapa warga yang sibuk membuat kapal.


Kami terus melaju. Waktu gelap, kami menghindari hal itu. Menurut guide kami yakni Bang Takwa di beberapa titik masih terdapat binatang liar semacam monyet dan babi hutan. Dan benar saja beberapa tempat saya melihat monyet-monyet di pinggir jalan. Di sebuah jalan, tiba-tiba babi hutan melintas menerabas jalan yang kami lewati. Meski gersang suara burung di sepanjang jalan terdengar indah.

Pasar Kowo, saya lihat pasar ini cukup ramai. Banyak orang gunung yang transaksi jual beli di desa ini. Lagi-lagi hal yang unik lainnya adalah bahasa, yang mempunyai khas tersendiri.

Petang. Kami sampai di Sape, sebuah pelabuhan kecil di ujung Bima yang bisa mengantarkan penumpang ke Labuhan Bajo NTT dan kota-kota lain di sekitar NTT. Meski pelabuhan kecil, namun cukup ramai dan padat. Selepas maghrib, akhirnya kami meninggalkan Sape untuk kembali ke Bima. Rute perjalanan melalui jalan tengah tidak lagi melalui jalur pinggir yang sebelumnya kami lewati. Memang lebih cepat namun sensasinya tak sebagus dan seindah perjalanan di jalur Wera – Sape. Apalagi saya telah kelelahan sehingga saya hanya sesekali tertidur dan memang sudah gelap.

Kami kembali ke penginapan. Dan kami melakukan rapat hasil hunting dan mendengarkan tim 2 yang ditugaskan untuk melakukan casting. Kesimpulan awal, sepertinya kami belum bisa ambil lokasi di Wera dengan pertimbangan yang sudah saya jelaskan di awal. Dan esok pagi kami harus mencari lokasi alternatif.


Perjalanan 15 Oktober 2016 

Pagi. Kami semua bersiap menuju lokasi berikutnya yakni sekitaran Kota Bima, namun saya juga tak menemukan lokasi yang tepat. Siang hari kami sampai ke lokasi Pacuan Kuda. Suhu terik menyengat, kami mengambil gembar di tempat pacuan kuda, yang sepertinya sudah komersil sebab bangunan telah bertembok dan cor-coran. Saya pun melihat para Joki kecil yang sedang melakukan latihan berkuda. Joki-joki kuda masih berumuran 5 tahun sampai maksimal umur 9 tahun. Lebih dari usia tersebut tak boleh menjadi Joki. Melihat Joki kecil menaiki kuda dan berlatih memang agak ngilu, membayangkan mereka jatuh. Namun kata mereka para Joki tersebut ketika jatuh tak akan kapok dan tidak akan menangis, kecuali meringis kesakitan. Pacuan kuda ini sebenarnya potensi wisata bagi wisatawan asing maupun domestik. Yang cukup di sayangkan adalah, pacuan kuda itu saya lihat seperti menjadi ajang perjudian. Tapi sudahlah, saya tak ingin bahas itu. Saya konsenterasi mencari Joki kecil yang bisa memenuhi peran di film yang saya garap. Dan betul saya tak dapatkan peran dari mereka.


Selang beberapa saat kami akhirnya meluncur ke salah satu kampus di Kota Bima untuk mengadakan casting. Betul kami hanya mendapatkan peran yang sedikit, sampailah pada akhirnya saya menemukan talen untuk peran tokoh Guru asli Bima. Lucunya orang tersebut adalah bukan orang Bima, beliau asli Dompu. Saya sempat bingung Dompu itu daerah mana. Akhirnya kami berbincang lama hingga petang, dan kami menceritakan kriteria lokasi yang saya inginkan. Dan rupanya Pak Zul ini menyarankan untuk mencoba hunting lokasi di Dompu. Di sana terdapat lokasi yang saya inginkan mulai dari gedung sekolah, savana, pacuan kuda, bukit, pantai dan rumah-rumah adat semua ada di Kempo-Dompu. Dan saya mengiyakan untuk hunting ke lokasi tersebut.

Malam hari. Kami semua berkumpul melakukan rapat pra produksi kembali. Dan mempertimbangkan apa yang disampaikan Pak Zul, mengingat kebutuhan lokasi yang skenario inginkan memang memenuhi syarat. Namun ini semua baru ranah bayangan belum sampai pada lokasi yang nyata. Kami memutuskan esok pagi untuk hunting ke Dompu. Kami semua beristirahat.


Perjalanan 16 Oktober 2016 
Sebelum sampai ke Dompu sesuai kesepakatan rapat malam hari, untuk tetap mencari lokasi di sekitaran Kota Bima. Ini semata-mata mempertimbangkan, film yang kami garap ini ada urun akomodasi dan transportasi dari pemda Bima. Rasa penasaran ini, akhirnya kami melakukan perjalanan ke lokasi yang tak jauh dari Bima. Desa Kolo, sebuah desa yang memiliki pantai indah dan saya lihat tempat itu seperti tempat wisata. Nah.., di sinilah saya baru mengerti, mengapa sedari awal sampai hari terakhir kami hunting. Mereka yang merekomendasikan lokasi syuting adalah tempat-tempat yang sudah modern bahkan bangunan rumahnya telah permanen. Padahal skenario menginginkan sebaliknya, Bima dengan persoalan sosial pendidikannya. Ah tapi ya sudah, ini semua memang mereka sepertinya telah terpengaruh oleh tayangan film dengan tempat-tempat indah, apalagi bila mereka cinta mati dengan sinetron, sudah dipastikan rekomendasi lokasinya pasti yang sudah modern. Kolo terlalu bagus untuk tuntutan skenario film yang kami garap. Bima akhirnya kami tinggalkan sejenak, kami menuju Dompu.


Siang hari. Kami meneruskan ke Dompu. Sepanjang perjalanan menuju Dompu, ini berbeda dengan Bima. Dompu saya lihat lebih subur, sepanjang jalan jajaran bukit terlihat hijau sehingga tak membuat kami kepanasan. Di tengah jalan kami berhenti, saya penasaran dengan pedagang jagung rebus dan jagung bakar di pinggir jalan menuju Dompu. Kami membeli jagung rebus, dan ah... luar biasa makanan kampung ini. Jagung yang empuk dan pulen, beda dengan jagung manis yang ada di Jakarta. Sembari terus membidik titik lokasi bukit dan beberapa lokasi yang kami anggap itu savana. Padahal itu bukan, kami semua halusinasi. Hehehhe..


Sampailah kami di tempat Pak Zul. Tak berapa lama, beliau kemudian menemani kami ke lokasi yang kami inginkan. Pacuan kuda, di Dompu terdapat arena pecuan kuda dan lebih tradisional bangunan masih menggunakan kayu, dalam hati saya langsung klik. Pantai, kami menuju pantai yang lokasinya tak jauh dari pacuan kuda. Indah dan bagus, namun sangat disayangkan pantainya kotor seperti pantai-pantai di Bima. Kami urung dan pantai kami tak masukkan ke list. Rumah penduduk, kami menemukan rumah penduduk yang sebagian besar masih tradisional dan ini yang kami maksud. Setelah beberapa lama melakukan hunting di wilayah Kempo Dompu, lokasi utama berikutnya yakni lokasi bangunan sekolah dan savana.


Dari Desa Kempo kami menuju savana (Doro Ncanga) sebuah lokasi yang jarak tempuhnya sekitar 1,5 jam dari Kempo. Sepanjang jalan kami melihat pantai, bukit dan jajaran ruang-ruang menghijau kosong yang kami anggap itu savana padahal itu bukan savana. Sampailah kami pada sebuah lokasi. Ah subhanalalloh, savana.. hamparan rumput hijau luas. Saya dan tim sampai lupa diri, seperti bukan hunting tapi berwisata. Kami lepas bebas seperti binatang ternak yang juga banyak terdapat di savana. Ahhirnya kami menepi di tengah savana yang dekat dengan pantai. Sebuah hamparan rumput hijau dari ujung pantai sampai ujung Gunung Tambora.


Saya pun akhirnya berlari-lari menikmati hijaunya hamparan savana. Dan saya turun menuju pantai, lagi-lagi saya dibuat takjub dengan pantai yan indah luar biasa. Pantainya cukup bersih dan tak sekotor pantai-pantai sebelumnya. Saya seperti sedang berwisata bukan seperti hunting lokasi. Kami lupa jeprat-jepret sepanjang hunting, senyum dan tawa terus mengembang lupa diri. Matahari mulai menyurub, nuansa mulai gelap. Sampai pada lokasi sekolah kami pun larut gelap dan tak bisa melihat detil lokasi sekolah yang saya lihat. Namun dengan pertimbangan lamanya waktu syuting dan minimnya kru yang terlibat. Maka saya memutuskan untuk mengambil lokasi syuting di Dompu.



Kempo, Dompu kami menemukan Suku Sumbawa yang sebenarnya. Berbeda dengan di Kota Bima, kami menemukan modernitas di Kota tersebut. Padahal lokasi yang kami inginkan adalah sebuah tempat tradisional yang masih asli.

Bersambung

Post a Comment

4 Comments

  1. mas di mana kita bisa nonton flim ini ,,adakah di youtube,

    ReplyDelete
  2. mas dimana bisa nonton flim ini,adakah di youtube

    ReplyDelete
  3. Dimana kita bisa nonton atau download film ini kak?

    ReplyDelete
  4. Senang sekali saya bisa mampir ke mari. Sehingga jadi lebih tahu tentang kisah di balik layar dalam pencarian lokasi syuting Film Tanah Cita Cita.

    ReplyDelete