Kemana Arah Belajar SMK Broadcast dan SMK Film (Rumpun Seni Audio Visual)
Berangkat dari kegelisahan saat itu di akhir tahun 2004, yakni banyaknya informasi yang hadir secepat waktu yang berjalan. Di tambah industri penyiaran televisi dan juga industri film tumbuh pesat hingga detik ini. Beberapa SMK Broadcast pun bertumbuhan di setiap provinsi, walaupun pertumbuhannya kalah jauh dengan SMK Multimedia namun keberadaan SMK Broadcast tetap masih sangat diperhitungkan. Menyusul kemudian SMK Film pun diperhitungkan kehadirannya.
Masalah demi
masalah muncul dari mulai awal berdiri hingga sekarang. Awal-awal SMK Broadcast
berdiri, masalah berkutat pada kurikulum dan menjalar ke tenaga pendidik pun
hingga kini belum tertangani dengan tuntas. Berganti menteri berganti pula
kebijakan, namun dalam hemat saya yang luput dari perbaikan adalah kurikulum. Yang
seharusnya secara simultan tahun demi tahun harus berubah, sebab industrinya
juga telah mengalami perubahan sangat jauh.
Jika dalam kurun
waktu 2013 hingga 2017 industri penyiaran tv dan industri film masih
menggantungkan penayangannya pada kanal terestrial dan biskop. Maka hari ini sejak
tahun 2019 mengalami perubahan total, walau sebenarnya terlambat untuk di
Indonesia.
Dalam beberapa bahasan
di buku yang saya tulis saya bahkan telah memasukkan perkembangan sejarah
pertelevisian terkini, yakni televisi digital dan atau televisi internet. Maka dalam
perkembangannya ini telah benar-benar menjelma secara nyata, di mana televisi tidak
lagi menjadi barang mewah namun telah menjelma menjadi barang pribadi. Televisi
tidak lagi berada di ruang tamu, ruang keluarga, ruang kamar, ruang lobby, dan
pos kamling. Tetapi televisi dan film telah berada dalam genggaman tangan dan
saku baju/celana kita.
Perubahan Arah
Industri TV dan Film
Televisi digital
yang berbasis jaringan internet (IoT - Internet of Thing) kini lebih banyak mengisi
ruang-ruang pribadi. Setiap orang tidak lagi diatur oleh kekuasaan stasiun
televisi besar, tetapi kita bisa dengan sesuka hati menonton program/konten
yang kita sukai. Pemegang kendali kini berada pada penonton bukan lagi pada pemilik
stasiun televisi.
Saya juga pernah membahas
dalam buku saya, sistem penyiaran televisi terbagi menjadi dua yakni :
1) FTA (Free To
Air)
2) OTT (Over The
Top)
Penyiaran dengan
basis Free To Air adalah televisi yang pemancarluasannya menggunakan jaringan
terestrial, atau yang kita kenal dengan istilah channel UHF atau VHF. Mendirikan
stasiun televisi berbasis FTA itu memerlukan biaya yang sangat mahal sebab di
sana kita wajib menyiapkan antara lain : pemancar tv, studio tv, perangkat produksi,
dan gedung sebagai pusat penyiaran.
Dalam pendirian stasiun
televisi FTA juga memerlukan perijinan khusus dari KPI dan Kominfo yang tidak
mudah, sebab biasanya jatah terestrial yang tersedia telah diatur oleh badan
tersebut. Juga dalam kegiatan produksi program tv pun biayanya sangat tinggi
apalagi bila program tv tersebut bersifat live yang menggunakan satelit untuk
memancarluaskan siarannya. Serta melibatkan banyak SDM (crew tv dan film) saat
penggarapan programnya.
Maka tak mengherankan
jika anak-anak muda di era tahun 2013 – 2017 masih bercita-cita ingin bekerja
di stasiun tv, padahal hari ini semua mendadak meninggalkan cita-cita tersebut
lalu kemudian menjadi pembuat konten kreatif.
Sistem stasiun tv
FTA hari ini runtuh oleh hadirnya televisi OTT (Over The Top). Industrinya tumbuh
pesat sebab semua berbasis jaringan internet (IoT) memudahkan dalam
memancarluaskan dan tidak perlu perijinan khusus dari KPI dan Kominfo. Basis industrinya
tidak lagi harus mendirikan gedung besar dan juga pemancar stasiun tv yang menjulang
tinggi, kita hanya mengandalkan jaringan internet. Yang wajib ada ialah studio
dan perngkat produksi, bagaimanapun proses produksi tetap menggunakan SOP
standar stasiun tv dan film.
Keruntuhan FTA itu
bahkan tak tanggung-tanggung, malahan hari ini mengubah mindset semua penduduk
bumi. Selain mengubah mindset juga mengubah
beberapa istilah pertelevisian. Misalnya produksi program tv berubah menjadi
produksi konten kreatif, yang tentu isi dan tujuannya masih tetap sama. Namun mengalami
tranformasi ruang dimensi penayangan, mengapa? OTT tidak lagi mengandalkan terestrial
tetapi mengandalkan jaringan internet yang di dalamnya kita bisa memanfaatkan
media sosial sebagai basis pemancarluasan siaran/konten.
Youtube adalah
salah satu basis penayangan industri tv OTT yang cukup bisa diandalkan untuk
saat ini, meskipun media sosial lainnya juga telah mengarah ke sana. Sementara
basis penayangan hasil industri film juga mengandalkan OTT berupa platform misalnya
Netflix, Disney Host Star, Viu dan lain-lain.
Kesemuanya bisa
kita tonton kapan saja dan suka-suka kita. Stasiun tv tak lagi mengatur-atur
kita untuk mengikuti tayangan mereka.
Mendirikan Stasiun
Televisi Sendiri
Akhirnya masa
depan SMK Broadcast dan SMK Film benar-benar mandiri secara industri dan tidak
lagi mengandalkan keberadaan stasiun televisi besar yang selama ini kita
idam-idamkan. SMK Brodcast dan SMK Film dapat menciptakan basis industrinya sendiri
mulai dari membangun studio mini, melengkapi peralatan produksi, dan membuat
basis penonton yang jelas. Sebab dengan basis penonton yang jelas dapat menyumbangkan
pundi-pundi keuntungan yang tidak sedikit, bahkan jika dimanfaatkan secara
maksimal mampu membiayai produksi konten yang digarap.
SMK Brodcast dan SMK Film harus mampu menciptkan SDM-SDM unggul dari daerah masing-masing.
Aspek atau flow lain yang tak kalah pentingnya adalah manajemen siaran konten, di mana harus mulai
dijadwalkan dengan simultan mulai dari unggah harian, mingguan, dan bulanan
dengan konten (VOD – Video On Demand), siaran langsung (life casting) dan
produksi news features (Vlog). Selain menerapkan standar industri profesional,
mengatur/memanjemen konten juga menjadi kunci untuk mendapatkan penghasilan (monetesasi)
secara maksimal dari kanal Youtube, FB dan Tiktok yang kita buat.
Makin Loka Makin
Mengglobal
SMK Brodcast dan
SMK Film harus mampu menciptkan SDM-SDM unggul dari daerah masing-masing. Tidak
perlu terpaku pada popularitas artis ibu kota, sebab pada kenyataannya dengan
memproduksi konten yang unggul dan menarik serta berkarakter lokal akan menciptakan
artis-artis lokal yang mengglobal.
Selain memunculkan
bibit-bibit muda berbakat juga memberi penguatan pada influencer-influencer
lokal yang mengglobal. Dengan kata lain hari ini untuk ngetop tidak harus
menjadi artis papan atas, cukup buatlah konten unik yang memviral maka disanalah
peluang besar menumbuhkan industrinya.
Singkatnya mulai
dari crew sampai pemain/talent, SMK Broadcast dan SMK Film tidak perlu
mengandalkan ketenaran pemain/talent/tokoh/artis, justru SMK-lah yang
menciptakan selebritis-selebritis baru dalam dunia industri pertelevisian
global.
Akhirnya arah
perubahan arah SMK Broadcast dan SMK Film harus terjadi, tak perlu lagi
mengandalkan industri-industri tv dan film besar. Namun industri-industri
itulah SMK yang menciptakan. Katakan kepada para peminat SMK Broadcast dan SMK
Film, “Mau jadi Youtubers? SMK Braoadcast-lah jawabannya” atau “Mau jadi Konten
Kreator? SMK Film-lah jawabannya”. Buatlah daya tarik anak-anak Gen Z untuk
masuk SMK Broadcast dan SMK Film dengan penyesuaian-penyesuaian yang kekinian
tentunya.
Salam Broadcast
TV & Film
Ketum Agbi
Anton Mabruri KN
0 komentar:
Post a Comment