-->

Friday 5 July 2019

PRINSIP-PRINSIP BAHASA FILM

Tulisan ini akan menjadi bekal bagi kita yang sering kecewa saat menonton film yang diangkat dari sebuah novel atau cerpen. Kita seringkali melontarkan kata-kata tak penting sesaat selesai menonton film yang diadaptasi dari novel dan cerpen, “kok enggak seperti novelnya ya..”, “ah sutradaranya payah, gue gak percaya sutradara A lagi... jelek bikin filmnya”, dan berbagai macam cacian yang dilontarkan.

Sejatinya film yang kita tonton adalah bagian dari komunikasi yang dituturkan melalui audio dan visual yang bersifat searah. Lalu bagaimana caranya agar bahasa (pesan) film tersebut sampai kepada penonton? Menurut M Bayu Widagdo dan Winastwan Gora S dalam bukunya Bikin Film Indie Itu Mudah (Penerbit Andi, 2007) Terdapat 3 faktor utama yang mendasari bahasa film yang disebut principal bahasa film, yaitu:
1. Gambar/Visual
2. Suara/Audio
3. Keterbatasan Waktu

Ketiga unsur tersebut juga tak lepas dari dua unsur utama, yakni unsur naratif (cerita yang kuat) dan unsur sinematik (mise en scene). Kegagalan industri sinetron kita dari unsur sinematik seolah telah menjadi sesuatu yang biasa. Bila kita perhatikan lebih detil, sinetron kita lebih kuat pada unsur naratif/cerita mereka abai soal sinematik. Apa akibat dari semua itu, adalah stagnasi (kejenuhan) industri yang kini terjadi, hal ini ditandai dengan cerita yang berulang-ulang dari masa ke masa. Menjadi lazim, hari ini rasanya sulit untuk menyaingi industri Drama Korea dan Drama Turki yang sudah mulai diimpor oleh beberapa stasiun tv Indonesia. Mereka (stasiun televisi) sadar bahwa seni audio visual dari kedua negara tersebut lahir dari dua unsur, yakni unsur naratif dan unsur sinematik yang kuat.

1. Gambar/Visual 
Kita akan memulai pembahasan dari unsur pertama yakni unsur visual. Visual adalah sekumpulan gambar yang dirangkai dan tersusun dalam suatu waktu. Gambar-gambar tersebut dinamakan frame, dan dimainkan dalam kecepatan tinggi (misalnya 24 frame per detik untuk sistem PAL - sistem broadcast televisi) sehingga menciptakan ilusi gerak (motion picture). Susunan gambar dalam sebuah visual bisa berupa susunan gambar statis maupun gambar bergerak, biasanya disertai dengan audio yang sinkron dengan gambarnya. Gambar merupakan sarana utama dalam karya film, yang berfungsi untuk menanamkan informasi kepada penonton. Hal pertama dalam film yang dirasakan oleh penonton adalah gambar, lihat sejarah film pertama adalah film bisu dan hanya terdiri dari satu shot saja.

Visual pada seni audio visual katakanlah film hanya dapat berbicara dengan satu shot atau beberapa shot, sehingga mempunyai keterbatasan dalam melukiskan (menggambarkan) kata-kata yang indah di dalam sebuah novel atau cerpen. Penulis yang baik akan membawa pembaca kepada imajinasi liar yang di dalam pikirannya. Tak heran bila ketika kita membaca novel, daya imajinasi kita lebih liar dari sekedar kata-kata yang digambarkan oleh penulis. Ini semua yang mengakibatkan pada saat kita menonton film adaptasi dari novel, namun tak sesuai dengan imajinasi kata-kata kita pun kecewa. Tak jarang dari mereka yang akhirnya enggan untuk menonton film adaptasi novel.

Sedangkan di dalam film unsur visual memiliki dua unsur utama yakni naratif dan sinematik. Benar, filmmaker (dalam hal ini sutradara) yang baik adalah dia yang mampu memvisualkan kedua unsur utama tersebut, naratif dan sinematik. Kebanyakan dari sutradara di Indonesia sendiri belumlah cukup mengerti kedua unsur tersebut, kecuali yang memang dia telah belajar baik akademik maupun praktik.

Unsur naratif pada sebuah film cukup diwakilkan dengan cerita yang kuat dan berkarakter. Berbeda dengan unsur sinematik, terdapat beberapa faktor pelengkap dari sinematik tersebut. Para filmmaker mengenalnya dengan istilah mise en scene. 
Mise-en-scene terdiri dari empat aspek utama, yakni:
 Latar (setting)
 Kostum dan tata rias wajah (make-up)
 Pencahayaan (lighting)
 Para pemain dan pergerakannya (acting)

Sekarang mari kita coba bayangkan dalam paparan seorang penulis novel, mereka akan lebih leluasa dalam menyajikan visual dalam bentuk tulisan tanpa menggunakan foto, imej, video, dan gambar bergerak lainnya mereka cukup dengan kata-kata tetapi pembaca langsung dapat mencernanya bahkan imajinasinya terkadang melebihi penulisnya. Sehingga para fimmaker ketika menemukan penjabaran kata-kata yang luas dengan pemaparan sempurna dari tulisan, filmmaker akan menerjemahkannya ke dalam unsur sinematik melalui empat unsur tersebut yang penulis sebutkan di atas untuk menunjang keutuhan dari cerita tersebut. Untuk membuat satu paparan kata-kata indah saja, para filmmaker membedahnya bisa berbulan lamanya dikarenakan mereka akan melakukan hunting lokasi/riset untuk menyesuaikan latar yang ada dalam cerita tersebut.

Bagaimana sudah mengerti bukan?
Penonton yang baik, justru mereka yang mengapresiasi karya seni audio visual yang telah sutradara dan crew-nya kerjakan. Menggarap film untuk sebuah novel jauh lebih rumit ketimbang membuat film dari sumber cerita murni imajinasi, sebab penonton sebelumnya tidak mengetahui keindahan visual yang dibuat.

Visual SDTV Versus HDTV Hingga 4K (UHD)
Menurut hemat penulis, menciptakan visual yang bagus (sinematik) untuk saat ini jauh lebih mudah, mengingat kita telah memasuki era digital video atau digital film (HDTV-High Definition Television). Yang tentunya memiliki banyak keunggulan di banding era analog (SDTV - Standard Definition Television), jika dulu kita dibatasi framing 4:3 yang cenderung kotak, kini kita sudah bisa menggunakan framing 16:9 yang lebih luas (wide screen) sehingga memungkinkan pengambilan visual lebih leluasa dengan depth of field yang lebih mendalam. Keunggulan lain sistem atau medium rekamnya cukup menggunakan flash memory, hardrive, recordable, dan lain sebagainya yang lebih ringkas dengan harga relatif murah karena bisa digunakan berulang-ulang. Nyaris setiap orang sudah bisa memanfaatkan teknologi HD untuk menciptakan visual yang baik (sinematik) dengan ketajaman visual yang lebih detil, sehingga tak mustahil pula bila pemain yang bagus (tak harus wajah yang tampan atau cantik) lebih bisa mempertajam cerita atau menarik perhatian penonton, di samping setting, properti, dan tata cahaya yang memesona sebagai pendukung suasana/mood.


2. Suara/Audio 
Unsur yang kedua dari bahasa film adalah audio/suara. Unsur suara sangat diperlukan dalam sebuah film, hal tersebut dikarenakan sarana gambar (unsur visual) belum mampu menjelaskan atau kurang efektif dan efisien, selain juga kurang realistis. Meskipun sejarah awal film pertama itu tanpa unsur audio/suara alias bisu, tetapi keberadaan suara sangat penting karena berfungsi sebagai sarana penunjang untuk memperkuat atau mempertegas informasi yang hendak disampaikan oleh bahasa gambar. Misalnya pada saat Anda menonton film dan pada satu adegan si pemeran berada di dalam sebuah sekolah, tetapi ternyata tidak terdengar suara gaduh anak-anak sekolah padahal situasi banyak siswa-siswi beristirahat. Anda pun bertanya ini adegan di sekolah atau di kebon? Tetapi adegan tersebut akan terasa nyata jika diberi suara gaduh anak sekolah, walaupun syuting yang Anda buat berada di sebuah rumah.

Dalam sebuah film unsur mise-en-scene tentu tidak berdiri sendiri dan terkait erat dengan unsur sinematik lainnya, yaitu sinematografi, editing, dan suara.

Penambahan suara itu bisa dengan sound effect atau ilustrasi musik, baik melalui diegetic sound atau non diegietic sound. Fungsi penambahan suara tersebut untuk menciptakan mood atau suasana kejiwaan, memperkuat informasi sekaligus menyuplai atau pun mempertegas informasi yang kita sampaikan.

Hari ini aturannya adalah surround sound pada saat akan diputar di bioskop. Surround sound mixes umumnya terdiri dari 5.1 atau 7.1 channel of sound yang sesuai dengan posisi speaker di ruangan atau teater/bioskop. Yang biasanya sistem digital audio terdapat pada Blu-ray Disc, DVD, HDTV, dan UHD. Mereka mampu memberikan efek tiga dimensi yang lebih intens dari stereo. Selain itu, penggunaan audio device (seperti zoom H6N dan lain-lain) pun memudahkan untuk memproduksi film atau program tv drama, karena bersifat portabel dan mudah untuk dioperasikan.

3. Keterbatasan Waktu 
Bahasa film yang ketiga adalah keterbatasan waktu. Apa yang membedakan antara media cetak (koran, majalah, buku dan lain-lain) dengan media elektronik dalam hal ini diwakili oleh film atau program tv drama. Media cetak seperti koran, majalah, tabloid dan buku (novel dan cerpen) tak mengenal waktu artinya kapan pun Anda membaca berapa pun lamanya Anda tetap merasakan asik. Meskipun pada saat Anda membaca sempat terhenti dan istirahat sejenak dan melanjutkanya kembali membaca, tetap saja informasi atau imajinasi Anda tidak akan pernah putus. Tetapi Anda bayangkan bila Anda menonton film dua hari penuh apa yang Anda rasakan, rasanya ingin muntah meskipun yang Anda lakukan sama seperti membaca buku.

Oleh sebab itu, film mempunyai prinsip keterbatasan waktu karena film merupakan media elektronik yang mempunyai sifat selintas. Faktor keterbatasan waktu pula yang mengikat dan membatasi penggunaan kedua sarana bahasa film di atas yakni gambar (visual) dan suara (audio). Maka dari itu, biasanya para filmmaker akan menyampaikan informasi yang penting saja yang diberikan, tidak lucu bukan? bila kita menyamakan durasi membaca novel juga sama lamanya menonton film. Kadang kala penonton terbiasa menganggap bahwa segala sesuatu yang diberikan atau ditampilkan pastilah merupakan informasi penting. Jika ada informasi yang tidak penting, penonton akan tetap menganggapnya penting sehingga akan membingungkan imajinasi.

Dalam hal ini sering terjadi salah paham dibeberapa penonton Indonesia, mereka menganggap bahwa cerita itu harus utuh untuk diangkat. Ini terjadi saat film layar lebar “Ayat-Ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi” difilmkan, banyak para pembaca kedua novel ini kecewa karena diawal mereka sudah dimanjakan imajinasi karya tulis nan indah dan memesona. Padahal film mempunyai keterbatasan waktu sehingga apabila kita mengangkat cerita dari sebuah novel tentulah sang sineas harus mengerti akan hal ini. Yang terpenting adalah pesan (buah pemikiran) yang disampaikan tidak hilang atau kabur.

Oleh Anton Mabruri KN | Praktisi Seni Audio Visual, Filmmaker, Broadcaster, Penulis

Web ini dikelola oleh Admin. Anton Mabruri adalah seorang Filmmaker | Broadcaster | Penulis | Content Creator. Ia hanya ingin MEMPERBAIKI INDONESIA.

0 komentar:

Post a Comment

Start Work With Me

Contact Us
Mahapatih Anton
+62 818 1898 4342
Kota Depok, Jawa Barat