Matinya Para PAKAR, Selamat Datang Para Pecundang


“Pepaya itu kalau mau manfaat dan enak dimakan, tidak boleh mateng semua. Kalau dalam satu pohon pepaya mateng semua, yang ada adalah busuk semua karena bingung yang akan dimakan yang mana duluan. Kalau kamu mau dihargai atau manfaat untuk banyak orang jadilah ahli bukan jadi cerdas. Seperti pepaya yang hanya matang satu itu, semua orang menikmati rasanya.” Nasihat ini disampaikan oleh Kyai saya persis ketika saya maruk dengan ilmu yang ingin saya tekuni.

Oh ternyata memang benar adanya, keahlian khusus (pakar) itu jauh lebih bermanfaat daripada menjadi orang yang serba tahu apalagi sok tahu. Orang-orang ahli itu juga tak melulu yang identik dengan penempuh jalan pendidikan tertentu sehingga mendapat gelar kesarjanaan yang bejibun banyaknya, tapi terlihat tak bermanfaat banyak orang oleh karena ia bukanlah ahli/pakar.

Dan konon katanya hari ini para pakar telah mati. Oleh sebab seberapa ahli kita dalam menekuni bidang tertentu akan dihujani oleh pendapat-pendapat para perambah (baca: pecundang) sosial media secara sembrono, dalam artian mereka yang menyerang para ahli/pakar adalah mereka yang TIDAK memiliki pondasi keilmuan yang matang. Bahkan terkadang mereka terlihat lebih jago dalam memberikan kalimat-kalimat tandingan, walau hanya berdasar pada pengetahuan selintas dan sekilas saja. Sementara itu para ahli/pakar yang sebenarnya memilih diam, oleh karena kematangan dalam bersikap (bijak).

Hadirnya media sosial menjadikan individu menjadi pusat (trendsetter) tidak peduli dia ahli atau bukan, yang penting ocehannya di media sosial “seolah-olah” paling ahli. Dengan kehadiran internet juga melahirkan era komunikasi baru yang oleh Manuel Castells (2013) disebut sebagai era komunikasi massa individual (mass-self communication). Yang dimaksud adalah, bagaimana individu dapat membuat pesan atau konten yang dapat diseberluaskan ke khalayak ramai melalui jaringan internet dengan lebih spesifik media sosial. Dengan jangkauan penyebaran yang cukup luas, bahkan dapat melebihi dari media pada umumnya. (Teori dasar peradaban komunikasi massa di era revolusi industri 4.0)

Bagaimana mungkin? Hari ini tiba-tiba banyak lahir para pakar di dunia media sosial yang mendadak dengan serta merta menjadi ahli agama, ahli politik, ahli sosial, ahli ekonomi dan ahli-ahli lain yang segala macam apa pun mereka komentari bagai seorang ahli/pakar dalam bidangnya. Bagi mereka yang mendadak menjadi ahli agama segala macam apa pun dikomentari dengan sudut pandang halal dan haram serta dikuatkan dengan hanya simbol-simbol semata, semisal mengenakan gamis, sorban dan peci putih yang secara kasat mata agar terlihat sebagai ahli agama yang kemudian bebas membicarakan apa pun soal agama padahal mabuk agama. Ada pula ahli agama (palsu) itu ditentukan dari banyaknya para follower di media sosial, oleh karena seringnya posting status dengan contekan dari kutipan-kutipan hadits atau qur’an sementara asal muasal hadits dan qur’an itu turun pun tak diketahui. Akhirnya ramailah orang-orang awam itu mengikutinya, yang dalam hitungan bulan kemudian berubah status dalam dirinya dengan panggilan ustadz. 😄

Atau sebaliknya kita yang tahu menahu soal agama pun demikian, ketika seorang ahli/pakar agama betulan (sanad keilmuannya sampai ke ahlinya) menyebarkan ceramahnya di sosial media. Tak berselang beberapa komentar di bawahnya menyambar seperti ahli yang paling ahli, masih mending jika tak sampai mencaci maki.

Itulah wajah media sosial di negeri ini, semua tampil bak seorang ahli yang paling ahli padahal kosong melompong keilmuannya.

Hai kamu yang ahli (kompeten) pada bidang tertentu sebarkan keahlianmu sesuai kadar keilmuanmu. Itu jauh lebih manfaat dari pada hanya sekedar berkomentar serang sana-sini.

Sruput kopinnya ☕️

Post a Comment

0 Comments