Bertemu dan bermuwajahah dengan orang-orang saleh (baca: Sholeh) itu memang membangkitkan semangat hidup lagi menyejukkan. Baru saja mudik tahun ini aku singgahi Kyaiku, untuk sekedar berdiskusi dan meminta do’a keberkahan hidup yang sedang ku jalani. Setelah sebelumnya aku berdiskusi dengan Abahku hari berikutnya aku sowan ke Pak Kyai, pun melakukan hal yang sama Cuma mungkin beda tema kali ya. Sebagai seorang yang dulu pernah belajar di Madrasah dan juga pernah menjadi santri kilat, mampir sana sini ke beberapa pesantren. Ah rasanya itu semua membuat aku sekarang menjadi demikian adanya.
Kata Gus Mus nilai kesalehan seseorang itu ada pada perilaku (amaliyah) posisi tugas manusia, semisal kamu di dunia ini hidup ditaqdirkan menjadi seorang guru, maka nilai kesalehan mu bukan sholat setiap hari. Tapi nilai kesalehan mu sebagai seorang guru adalah mengamalkan ilmu (mendidik dan mengajar) murid-muridmu dengan baik. Nilai kesalehan seorang dokter adalah pada ia mampu melayani pasien dengan baik hingga sembuh. Nilai kesalehan petani adalah dengan sungguh-sungguh menanam tanaman pertanian dan dipelihara sampai panen. Lalu dimana nilai kesalehan seorang pemimpin seperti RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Walikota, Menteri, Anggota DPR, sampai Presiden? Nilai kesalehan para pemimpin kita adalah berbuat adil kepada rakyat. Jadi bukan dzikir saban hari, sholat setiap waktu atau bersodaqoh terus menerus.
Maka jika kamu menemukan pemimpin suatu wilayah yang kerjanya hanya mau dzikir, sholat dan lain-lain kemudian mengabaikan tugas utamanya yakni berbuat adil untuk rakyatnya. Maka kita patut bertanya dimana nilai kesalehan mereka? Eh tapi kalau ngopi boleh engga? Justru harus sering ngopi biar melek engga ngantukan. He..hehe..
Kita juga harus menempatkan dalil naqli sesuai porsinya. Kamu bisa jadi sering mendengar ayat ini “’Atiullaha wa’atiurrasul waulil amri minkum” (taatilah Alloh, taatilah Rasul dan taatilah pemimpin diantara kamu). Bunyi ayat ini menjadi wajib dan dipedomani bagi kamu yang berposisi sebagai rakyat. Tapi jika dalil ini menjadi pegangan para pemimpin sudah dipastikan pemimpin itu akan berbuat dzolim dan semena-mena alias diktator. Jadi jika kamu jadi pemimpin pegangan ayatmu adalah “Innallaha ya’mur bil’adli wal ikhsan...” (dan berbuatlah adil dan baik) untuk rakyatmu. Maka dipastikan nilai kesalehanmu padaNya lebih tinggi dibanding kamu berbuat semena-mena pada rakyatmu. Atau sebaliknya ayat tersebut menjadi pegangan rakyat, pun menjadi sebaliknya sepanjang kamu menjadi rakyat kamu tidak pernah bersyukur, nuntutnya keadilan sepanjang hayatmu.
Ayat lain misalnya “Arrijalu kowwamuna ‘ala nisa” bila dalil ini menjadi pegangan bagi para suami dipastikan kamu akan menjadi suami yang diktator. Kamu beralasan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Dalil ini mestinya harus menjadi pegangan bagi kaum wanita agar mengerti dan menghayati bahwa laki-laki adalah pemimpin kita seutuhnya. Apa pegangan ayat yang pas untuk kaum laki-laki (suami)? Kamu pegang ayat ini “Wa’asy hirunna bil ma’ruf ....” (pergaulilah istrimu dengan baik). Niscaya kamu akan mejadi laki-laki yang baik dan membahagiakan istrimu. Begitu juga kalau ayat ini menjadi pegangan bagi kaum wanita, bahayanya adalah kamu selalu menuntut suamimu (laki-laki) terus menerus karena tidak pernah merasa puas.
Keluarga adalah tatanan politik yang paling kecil dalam kehidupan sosial kita. Jika cara berkeluarga mu juga sudah tidak baik maka seterusnya cara bernegara mu juga tidak baik. Ayat-ayat tersebut lengkap ada dalam fiqih siasah (fiqih politik). Loh memang ada ya? Ah kamu ini selalu mengatakan dirimu “ana khairun minhu” (saya lebih baik dari kamu) ini virus yang tengah menjangkiti kita semua. Sehingga mudah sekali kamu menvonis orang lain itu tidak sebaik dirimu, padahal itu kata-kata Iblis saat pertama kali ia diperintah Allah swt untuk sujud kepada Adam. Iblis bilang “ana khairun minhu..!!”
Agar hidupmu serasa lebih baik, mari ngupi bareng sama aku.. biar melek dan tidak terus ngantuk. Aha kopi ini (Kintamani) memang nikmat tiada duanya.
Wallahu a’alam bish showab.
Kata Gus Mus nilai kesalehan seseorang itu ada pada perilaku (amaliyah) posisi tugas manusia, semisal kamu di dunia ini hidup ditaqdirkan menjadi seorang guru, maka nilai kesalehan mu bukan sholat setiap hari. Tapi nilai kesalehan mu sebagai seorang guru adalah mengamalkan ilmu (mendidik dan mengajar) murid-muridmu dengan baik. Nilai kesalehan seorang dokter adalah pada ia mampu melayani pasien dengan baik hingga sembuh. Nilai kesalehan petani adalah dengan sungguh-sungguh menanam tanaman pertanian dan dipelihara sampai panen. Lalu dimana nilai kesalehan seorang pemimpin seperti RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Walikota, Menteri, Anggota DPR, sampai Presiden? Nilai kesalehan para pemimpin kita adalah berbuat adil kepada rakyat. Jadi bukan dzikir saban hari, sholat setiap waktu atau bersodaqoh terus menerus.
Maka jika kamu menemukan pemimpin suatu wilayah yang kerjanya hanya mau dzikir, sholat dan lain-lain kemudian mengabaikan tugas utamanya yakni berbuat adil untuk rakyatnya. Maka kita patut bertanya dimana nilai kesalehan mereka? Eh tapi kalau ngopi boleh engga? Justru harus sering ngopi biar melek engga ngantukan. He..hehe..
Kita juga harus menempatkan dalil naqli sesuai porsinya. Kamu bisa jadi sering mendengar ayat ini “’Atiullaha wa’atiurrasul waulil amri minkum” (taatilah Alloh, taatilah Rasul dan taatilah pemimpin diantara kamu). Bunyi ayat ini menjadi wajib dan dipedomani bagi kamu yang berposisi sebagai rakyat. Tapi jika dalil ini menjadi pegangan para pemimpin sudah dipastikan pemimpin itu akan berbuat dzolim dan semena-mena alias diktator. Jadi jika kamu jadi pemimpin pegangan ayatmu adalah “Innallaha ya’mur bil’adli wal ikhsan...” (dan berbuatlah adil dan baik) untuk rakyatmu. Maka dipastikan nilai kesalehanmu padaNya lebih tinggi dibanding kamu berbuat semena-mena pada rakyatmu. Atau sebaliknya ayat tersebut menjadi pegangan rakyat, pun menjadi sebaliknya sepanjang kamu menjadi rakyat kamu tidak pernah bersyukur, nuntutnya keadilan sepanjang hayatmu.
Ayat lain misalnya “Arrijalu kowwamuna ‘ala nisa” bila dalil ini menjadi pegangan bagi para suami dipastikan kamu akan menjadi suami yang diktator. Kamu beralasan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Dalil ini mestinya harus menjadi pegangan bagi kaum wanita agar mengerti dan menghayati bahwa laki-laki adalah pemimpin kita seutuhnya. Apa pegangan ayat yang pas untuk kaum laki-laki (suami)? Kamu pegang ayat ini “Wa’asy hirunna bil ma’ruf ....” (pergaulilah istrimu dengan baik). Niscaya kamu akan mejadi laki-laki yang baik dan membahagiakan istrimu. Begitu juga kalau ayat ini menjadi pegangan bagi kaum wanita, bahayanya adalah kamu selalu menuntut suamimu (laki-laki) terus menerus karena tidak pernah merasa puas.
Keluarga adalah tatanan politik yang paling kecil dalam kehidupan sosial kita. Jika cara berkeluarga mu juga sudah tidak baik maka seterusnya cara bernegara mu juga tidak baik. Ayat-ayat tersebut lengkap ada dalam fiqih siasah (fiqih politik). Loh memang ada ya? Ah kamu ini selalu mengatakan dirimu “ana khairun minhu” (saya lebih baik dari kamu) ini virus yang tengah menjangkiti kita semua. Sehingga mudah sekali kamu menvonis orang lain itu tidak sebaik dirimu, padahal itu kata-kata Iblis saat pertama kali ia diperintah Allah swt untuk sujud kepada Adam. Iblis bilang “ana khairun minhu..!!”
Agar hidupmu serasa lebih baik, mari ngupi bareng sama aku.. biar melek dan tidak terus ngantuk. Aha kopi ini (Kintamani) memang nikmat tiada duanya.
Wallahu a’alam bish showab.
0 Comments