![]() |
Lembah Ngarai Sihanok Sumbar |
“Angin yang datang menerawang…
Luka di kalbu ini
Mengutus seorang pujangga untuk hadir di hadapanku
Maka aku bertutur dalam lidah yang kelu
bertutur dalam hati yang remuk dan bertutur dalam sunyinya kalbu
Nyanyian cinta akan terus marangakai heningnya jiwa
Wahai sang pujangga…, ingin rasanya aku bertutur di hadapanmu tentang sebuah kisah jiwa yang telah setahun silam terpendam di bawah tumpukan kesunyian dan kegetiran cinta. Dan apakah engkau tahu apa itu artinya hadir dengan cinta…?, adalah di mana aku ingin berbagi cerita tentang perjalanan cintaku yang hancur tertikam buaian semu. Sahabat jiwaku… kaliamat-kalimat ini adalah sebuah keterwakilan jiwa yang terpesona dan takjub akan senyum gemas serta birahi kegalaun kepada seorang wanita cantik yang pernah ku cintai. Aku yang galau akan kehadiran rasa, mengapung di atas kejernihan samudera hati, tetapi di bawah sengat matahari cinta membiaskan pelangi buram tanpa makna. Wanita sesosok makhluk yang terlahir di antara kesunyian dan kesenyapan Adam; menabur keterpesonaan pada setiap lelaki, kadang kala senyumnya menaklukkan kegarangan lelaki, lantun suaranya lemahkan jiwa lelaki.
Jiwa-jiwa ini akan merapuh
Dalam setiap kerinduan yang hening
Jiwa mengalun…berteriak menanti jawab akan satu rindu
Kecuali sajak-sajak cinta yang terus mengurai
Atas nama cinta…jiwa akan selalu merindukanmu
Tahukah engkau sang Pujangga…?, renung-cenung kalbu yang tergenang arak cinta telah memabukkan jiwaku yang tengah terperangakap dalam cumbuan nista. Sesungguhnya wanita adalah makhluk lemah yang mudah takluk saat bujuk rayu menghujam, tetapi aku adalah sang penghujam cinta yang mudah menangis kala Mayaku yang begitu aku cintai pergi meninggalkan diriku tanpa kata-kata kecuali puing-puing busuk yang telah mengendap di atas cakrawala kalbu.
Dan atas nama cinta…jiwa ini akan terus merindukanmu
Entah itu dalam sunyi atau dalam ramai
Cinta akan selalu menembus dimensi ruang dan waktu
Seandainya waktu terus berkejaran memburamkan kenang yang ada di dalam jiwa; dan hati terus mengingat begitu banyak setiap cela yang ia simpan; niscaya jiwa ini akan membencinya; lalu kenapakah cela itu seakan membuat aku terus semakin gandrung terhadap pesonanya dan gemulai gerak tubuh yang telah memelukku…? Malam itu. Begitu lama bayang itu terus memaksa bertahta, mengais-ngais, dan terus merapat dikelamnya kalbu yang buta seolah bayang-bayang itu memiliki ruang-ruang bebas untuk menyuruhku menarikan mulut dan jemari kujurku.
Oh….mengapakah keindahan yang terpampang menyiksa jiwaku. Bukankah keindahan tersaji untuk dapat ku nikmati bersama kebahagiaan…? Perjalanan waktu yang berjalan, lambat laun terus menghendaki jiwa merana ini untuk terus mengenang bayang wanita cantik yang pernah singgah di hati ini, seolah sang waktu sebagai penghendak. Tetes-tetes air mata telah membasahi pipi, gerak kalbu aku tuntun kepada kebencian mendalam terhadap Maya cintaku agar aku dapat meraih segenggam cahaya kebahagiaan, tetapi tetaplah aku tak mampu; padahal hatiku terus mumpuni dan melambai-lambai meminta dan mengemis kepada Sang Penguasa tujuh langit agar aku bisa dilepaskan dari cinta yang merenggut seluruh jalan hidupku”.
...bersambung...
0 Comments